Indonesian income per capita has risen rapidly in the past 10 years. The growth in income, combined with an expanding middle class, has corresponded with strong growth in retail sales. Recently, however, this trend has started to change. Consumption growth has been relatively stable, but retail sales are growing more slowly than in the past. In order to develop a clearer picture of consumer spending in Indonesia, we discuss differences in spending behaviour across two income groupslower-middle income and upper-high income. Consumption varies across income groups, so saving and investment patterns may also vary. We find that the upper-high income group, despite having more income than in the past, is less willing to invest and borrow than previously, and that the lower-middle income group continues to suffer from a lack of purchasing power. Meanwhile, investors are simply postponing investments, preferring to take a wait and see' approach. Excess saving can be economically problematic. If effective demand is too weak, it can have negative consequences for long-term economic growth. We begin, however, by surveying recent economic developments in Indonesia, focusing on the third quarter of 2017. Indonesia's current rate of economic growth (5.1% year on year) places it among the world's fastest-growing large economies, but the lack of acceleration is a concern: growth has not exceeded 6.0% since the second quarter of 2012. Despite this lack of acceleration, Indonesia has achieved macroeconomic and financial stability. The balance of payments has been improving since early 2016, with a narrow current account deficitwell below 3.0% of GDPand a surplus trade balance. Exports grew by 17.3% in the third quarter of 2017, owing to rising commodity prices (which boosted export growth in both value and volume), while imports grew by 15.1%, although the impact on economic growth has so far been more moderate than in the commodity boom of 2000-2011. The growth in commodity exports has also benefited Kalimantan, Sumatra, and other commodity-rich regions. However, rising commodity prices come with some caveats. They might boost growth for a short period, but they raise the challenge of making this growth sustainable. We have seen this many times in the past. Increasing institutional capacity to better implement policy initiatives, for one, will help to deliver sustainable, high-quality economic growth. Pendapatan per kapita Indonesia telah naik pesat selama 10 tahun terakhir. Peningkatan pendapatan yang diiringi bertambah besarnya kelas menengah mendorong pertumbuhan yang kuat di sektor penjualan ritel. Namun demikian, belakangan ini tren tersebut mulai berubah. Pertumbuhan konsumsi berjalan cukup stabil, namun penjualan ritel berjalan lebih lambat dibandingkan sebelumnya. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai belanja konsumsi di Indonesia, penulis membahas perbedaan pola belanja dua kelompok pendapatan, yakni kelas menengah bawah dan kelas menengah atas. Karena konsumsi bervariasi antarkelompok pendapatan, maka pola tabungan dan investasi juga memiliki perbedaan. Kami menemukan bahwa kelompok pendapatan menengah atas, sekalipun memiliki lebih banyak pendapatan dibandingkan di masa lampau, lebih resisten untuk berinvestasi dan mengambil kredit pinjaman dibandingkan sebelumnya; sementara kelompok menengah bawah mengalami penurunan daya beli. Di lain pihak, investor menunda penanaman modalnya, sembari memilih untuk menunggu dan melihat arah dan perkembangan situasi. Kelebihan tabungan ini dapat menjadi problematik secara ekonomi: apabila permintaan efektif terlalu lemah, ia dapat membawa konsekuensi negatif bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang di Indonesia. Penulis terlebih dahulu melakukan observasi atas perkembangan terkini di Indonesia, berfokus pada triwulan ketiga tahun 2017. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini (5,1% yoy) menempatkannya di tengah-tengah negara besar dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Sekalipun demikian, tingkat akselerasinya tetap menjadi tantangan tersendiri: pertumbuhan ekonomi tak kunjung melampaui 6% sejak kuartal kedua tahun 2012. Namun terlepas dari kurangnya percepatan, Indonesia telah mencapai stabilitas makroekonomi dan keuangan. Neraca pembayaran menunjukkan defisit transaksi berjalan jauh di bawah 3% PDB disertai surplus dalam neraca perdagangan. Ekspor bertumbuh sebesar 17,3% pada triwulan ketiga tahun 2017 berkat naiknya harga-harga komoditas yang menaikkan pertumbuhan ekspor dari sisi nilai maupun volume, sedangkan impor bertumbuh 15,1%, meski dampaknya pada pertumbuhan ekonomi cenderung moderat jika dibandingkan dengan masa ledakan komoditas pada 2000-2011. Pertumbuhan pada ekspor komoditas telah berdampak baik bagi Kalimantan, Sumatera, dan daerah-daerah lain yang berlimpah komoditas. Namun demikian, naiknya harga-harga komoditas ini juga membawa tantangan: ia dapat menaikkan pertumbuhan untuk jangka pendek, namun perlu upaya keras untuk membuatnya berkelanjutan, seperti yang telah kita alami beberapa kali di masa lampau. Menambah kapasitas institusi untuk memperbaiki implementasi dari beberapa inisiatif kebijakan, adalah salah satu cara untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas dan berkelanjutan.